Wayang Potehi Gudo Hibur Masyarakat Surabaya Jelang Imlek

15 February 2016


Bunyi musik instrumen khas Tionghoa mengalun meriah menghiasi dining hall hotel Luminor, Surabaya. Tampak satu set panggung khusus pertunjukan wayang potehi, atau nama lainnya adalah wayang thithi, terpasang di tengah ruangan. Musik pembuka berlangsung cukup lama sebelum pertunjukan dimulai. Ketika musik pembuka berhenti, barulah dalang mulai menceritakan narasi dari pertunjukan kali ini. Tak lupa beliau juga memperkenalkan tokoh-tokoh wayang yang berperan dalam cerita siang itu. Musik kembali bersahut-sahutan seiring plot cerita memasuki tahap klimaks ketika peperangan dan perkelahian antar wayang terjadi. Penghuni hotel yang siang itu memadati dining hall nampak sedang menikmati santapan makan siang sembari antusias menyaksikan pertunjukan wayang potehi.


Itulah suasana pertunjukan wayang potehi yang khusus diundang dari Gudo, Jombang. Mereka diundang untuk memeriahkan acara makan siang dan malam yang diselenggarakan oleh Hotel Luminor untuk menyambut datangnya tahun baru Imlek. Mereka merupakan salah satu grup pertunjukan wayang potehi yang ada di kelenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang.


Pertunjukan wayang Potehi tidak memakan tempat seperti pada wayang kulit Indonesia yang memerlukan satu set alat musik Jawa serta pengiringnya yang banyak. Sedangkan wayang Potehi hanya memerlukan tempat seluas 3x4 meter setinggi kurang lebih 1,5 meter. Satu pertunjukan biasanya hanya melibatkan 5 orang, yaitu seorang dalang dibantu seorang asisten dalang dan beberapa orang pemusik yang bertugas mengiringi alur cerita dengan memainkan musik khas Tiongkok diantaranya gembreng besar (Toa Lo), rebab (Hian Na), kayu (Piak Ko), suling (Bien Siauw), gembreng kecil (Siauw Loo), gendang (Tong Ko), selompret (Thua Jwee). Meskipun alat musiknya ada 7 jenis tetapi pemain musiknya cukup 3 orang karena satu orang dapat memainkan 2 atau 3 alat musik.
Ketika diwawancarai, sang dalang, Wahyu Santoso mengutarakan bahwa beliau dan kelompok pertunjukan Wayang Potehi Gudo akan tampil dua kali. Saat jam makan siang tema cerita yang dipilih yaitu Kera Sakti dalam perjalanannya mengambil kitab suci, kemudian saat jam makan malam dengan tema cerita tentang titisan bintang harimau putih Sie Djin Koei. Diceritakan, bahwa titisan naga hijau Gay Souw Boen menaruh dendam pada Sie Djin Koei, namun selalu dapat dikalahkan oleh Sie Djin Koei.


“Naga hijau suka membuat kerusuhan di bumi, maka dari itu Harimau Putih diturunkan ke bumi agar dapat menghentikan keonaran yang diakibatkan Naga Hijau. Dan yang benar akan selalu menang melawan yang jahat, begitulah pesan yang ingin disampaikan cerita ini.” Ulas sang dalang yang dengan bersemangat menceritakan ulang makna cerita Wayang Potehi kepada redaksi malam itu, sembari menyelipkan beberapa petuah-petuah kehidupan.


Tak heran dining hall Hotel Luminor Surabaya terus-menerus dipadati pengunjung baik yang menginap di hotel ataupun pengunjung dari luar yang sudah melakukan reservasi khusus untuk menyaksikan pertunjukan Wayang Potehi Gudo sembari menikmati hidangan khas Imlek yang ciamik.

 


Naskah: Ruth Winda & Lintang Suminar
Foto: Lintang Suminar